Sabtu, 26 November 2011

JERITAN PEDIH DARI BATINKU

"Oh.. Kapankah pedih ini berakhir. Tidakkah kau iba dengan sakit yang kuderita? Endy, Kau terlalu angkuh mengakui perasaanmu. Aku disini menunggu, walau tak ada jawaban darimu. Aku tetap menunggu."

PRAKKK...

Pena itu terjatuh lagi untuk yang ke-5 kalinya. Aku frustasi. Ingin rasanya mematahkan sendi-sendi tulangnya. Agar tak lagi menguliti perasaanku.

"Endy.., seandainya kamu tahu.. Betapa aku..." aku bergegas berjongkok mencari pena itu. Aku tak ingin lagi menyelesaikan kalimatku yang terasa hambar.

Tuk..tuk..tuk.. Detakan irama itu sangat kukenal. Ya, tidak salah lagi. Itu suara hentakan high hill bu Tanti, guru Sejarahku.

"Aw... Bu,, ampun.." rintihku kala bu Tanti menjewer telingaku tanpa ampun.

"Sudah berapa kali ibu katakan, fokus! Kamu selalu sibuk dengan urusanmu." serang bu Tanti menyalak garang. Kulihat matanya menyambar selembar kertas bergambar di atas mejaku. "Apa ini?" ia mengambil kertas itu sembari melonggarkan cubitannya.

Aku hanya menunduk malu dan takut.

Tok..tok..tok..
"Assalamu'alaikum... Permisi Bu..." sapa seorang cowok cekung berlesung pipit manis yang bertengger di pipinya.

Aku selamat, bu Tanti melepaskan cubitannya lalu menghampiri cowok itu. Sementara aku masih mengusap-usap telingaku yang masih panas.

"Bu, ada pengumuman untuk anak-anak OSIS untuk segera kumpul sekarang Bu, mohon izinnya."

"Apa gak bisa menunggu sampai jam istirahat?"

"Oh, maaf Bu, kalau begitu saya permisi." kulihat cowok itu mundur malu, karena ucapan tegas bu Tanti.

Sekarang, matilah aku. Bu Tanti menatap tajam setajam pisau yang sudah diasah 1000x. Hanya dengan pandangan matanya. Segenap hatiku percaya itu sebagai simbol panggilannya. Dengan langkah ragu, aku melangkah. Kakiku tiba-tiba terasa berat. Seperti ada kunti yang menarik atau bahkan suster ngesot. Jarakku dengan bu Tanti kian dekat. Kulihat matanya merah padam setelah membaca tulisanku.

"Kamu baca ini keras-keras." pinta bu Tanti.

Deg..

Aku menoleh, cowok itu belum pergi. Bagaimana ini, aku tak mungkin membacanya. Sementara Endy belum pergi dari kursi halaman depan kelasku.

"BACA..!!" teriak bu Tanti semakin meninggi.

Terpaksa kutelan ludah untuk membaca sebait demi sebait kalimat sendu yang kutulis tadi.

"Oh.. Kapankah pedih ini berakhir. Tidakkah kau iba dengan sakit yang kuderita? Endy..."

Aku belum melanjutkan kata-kataku. Yang bersangkutan sudah menoleh dari kaca jendela. Kulihat beberapa orang temanku hampir memekik. Tapi tertahan oleh pelototan bu Tanti.

"Tunggu." bu Tanti menghentikan suaraku yang masih tercekat malu.

Ia keluar, beberapa detik kemudian. Ia kembali membawa Endy. Cowok itu memandangku dingin. Kembali aku hanya bisa menelan ludah. Oh Tuhan, aku tidak mau ini terjadi. Selamatkan aku dari situasi ini.


"Lanjutkan.." tukas bu Tanti agak pelan. Ia mengatur posisiku agar tepat menghadap Endy. Oh no... Apa-apaan ini? Kenapa bu Tanti pindah aliran menjadi guru drama?

Deg...

Aku tak sanggup menatap mata Endy dari jarak yang sedekat ini. Aku ingin menjerit, tapi lagi-lagi keinginan itu lenyap bersama sapuan angin. Aku mulai mengatur nafas.

"Endy, Kau terlalu angkuh mengakui perasaanmu. Aku disini menunggu, walau tak ada jawaban darimu. Aku tetap menunggu." usai berkata, bel bernyanyi riang.

Bu Tanti pergi begitu saja. Meninggalkan dendam untuk kelas kami. Semua itu karena aku.

Sedang teman-temanku, hanya menertawakan. Sebagian dari mereka mengumpat kesal. Sementara Endy, dia berbisik pelan di telingaku.

"Puas kamu membuatku malu? Selamat." ia pergi begitu saja, meninggalkan luka terperih dalam hatiku. Ingin rasanya aku menjerit pedih atas kata-katanya yang menusuk di dalam batinku.

Perih selalu terlalu kuat untuk tak terlihat...

Endy, aku mencintaimu, andai kau tau..

-end-

DITULIS OLEH: DINDA CINTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar