Sabtu, 26 November 2011

JAWABAN CINTA YANG TERTUNDA

Gadis itu mewarnai lembar akhir diarynya dengan cat merah. Tidak, itu bukan cat. Itu darah yang menitik dari lubang hidungnya. Dengan teliti dan rapi, gadis itu terus mewarnai gambar hati yang dibuatnya dengan penuh perasaan.


            Matahari menyilaukan mataku lagi pagi ini. Selalu, aku terbangun setelah mendapat mimpi itu. Itu sebagai kado tidurku. Mimpi yang sama, yang kerap menemani tidur lelapku setiap malam.

            “Kau melukis dirimu lagi?”

            “Ah?” aku menoleh ke sumber suara. Lalu kembali menatap lukisanku. Tanpa sadar, aku telah melakukannya setiap hari. Melukis wajah yang tak kukenali. Tapi, setelah menyadarinya. Ternyata itu wajahku. “Entahlah Wi.” Aku mengangkat bahu tak mengerti dengan apa yang kulukis. Seperti ada magnet yang memaksaku. Untuk melakukannya di bawah kendali sadarku.

            “Pasti ini berhubungan dengan mimpimu itu ya?” tanya Juwi, satu-satunya sahabatku yang paling mengerti aku dan duniaku.

            Duniaku yang kelam yang kurasa hanya aku yang mengerti tentang ini semua. Dunia makhluk autis seperti aku. Jika ditanya, ya aku memang gadis belia yang memiliki sebagian besar sifat autis. Aku memang bukan tergolong gadis autis tingkat akut. Aku hanya mendekati sifat autis itu. Itu bisa terlihat dari caraku bergaul dan caraku menutup diri dari dunia sekitarku.
Usiaku baru saja menginjak usia 15 tahun. Tepat Juli kemarin tanggal 24 tahun 2011. Sejak saat itu aku mengalami mimpi yang sama setiap malamnya. Mimpi berantai seperti ingin menjelaskan sesuatu padaku.


            Gadis itu memulai aktivitasnya kembali. Dicelupkannya kuas yang sudah melebur bersama darah yang jatuh bersama tangisnya. Sudah merah bentuk hati itu terlukis dengan darah. Ia tak berhenti, ia ingin membuatnya semakin merah semerah pikirannya yang terlalu membumbung.


            “Nad, kamu berkeringat?”

            Aku membuka mata, Juwi sudah ada di samping ranjangku. Aku tersenyum menatapnya.

           “Aku mimpi lagi...” desahku lirih.

           Juwi mmbelai-belai rambutku yang kukepang dua. Ia tersenyum, senyumnya damai mencerahkan jiwaku yang sudah kusam.

          “Aku ingin tahu arti mimpiku ini Wi, bisakah kamu menolongku?” pintaku padanya yang masih membelaiku. Dia adalah sahabatku, tapi juga kakakku yang paling kusayangi. Kurasakan kepalanya mengangguk di pundakku. “Tapi, aku tak mau mama tahu hal ini. Sembunyikan ini dari mama ya Wi?” sambungku sedikit khawatir.

          “Kau bisa percayakan ini padaku Nad.” Mantap Juwi meyakinkanku.

           Aku menatap Juwi lekat-lekat. Tersembul sinar nyala membuatku sangat percaya akan semua hal yang terikrar dengan dirinya. Dia membalas tatapanku dengan senyum penuh arti. Dibaliknya tubuhku yang tadi sempat membelakanginya.

          “Kita hanya perlu tahu, siapa gadis yang selalu hadir di dalam mimpimu itu.” Papar Juwi menjelaskanku.

           Aku menggeleng, yang ku tahu aku memang tak pernah jelas melihatnya dalam mimpiku. Sosoknya tak lebih seperti bayangan maya yang hinggap secara nyata dalam ingatanku. Aku hanya bisa menerjemah sosoknya dalam tiap lukisanku yang secara tak sadar mengisi relung memoryku.

          “Mungkin aku bisa memperhatikannya selanjutnya nanti, bukankah aku pasti akan melihatnya lagi setiapku tertidur?” aku memandang Juwi berharap dapat kepercayaannya.

         “Ya sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Nanti dia akan menampakkannya sendiri kok.”

         “Pasti?”

         “Ya, tentu. Bukankah itu hobinya yang selalu membuat adikku ini penasaran?” katanya sambil tersenyum manja.

          Aku mencubit pinggangnya gemas.

         “Well, cepat berkemas. Sebentar lagi mama akan datang membawa guru privat baru untukmu.” Juwi mengingatkanku untuk yang kesemilyar kalinya.

:) :) :)

           Aku masih menunggu di ruang tamu, mama bilang mungkin akan datang terlambat karena jalanan macet. Sudah sembilan kali mama membawa guru privat baru untukku. Mereka yang sebelumnya tidak pernah betah mengajariku karena aku yang sama sekali tak bersahabat dengan mereka.

          Seperti yang sudah aku katakan. Aku memiliki sifat autis yang cenderung tertutup dan susah bergaul. Tidak hanya dengan teman-teman sebayaku, tapi juga guru-guru pun mendapat dampak negatif yang sungguh nyata. Aku tak pernah memberi respon apapun saat berbaur dengan mereka. Dan kurasa percuma saja, jika mama mencarikan guru baru lagi. Karena kupikir hasilnya juga pasti sama.

         Dan sampailah di penghujung penantianku. Aku sekarang sudah berhadapan dengan guru baru itu. Kuakui, memang ada perbedaan yang jauh antara dia dan guru-guruku sebelumnya.

        “Nadya, kenalkan ini pak Hariyanto yang akan mengajarkanmu selama dua bulan kedepan.” Mama memperkenalkan guru privat itu kepadaku.

         Aku membalas uluran tangannya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan ada aliran yang berbeda yang nyaris mendegupkan jantungku dengan kuat. Segera aku melepas genggaman itu. Kulempar senyuman untuknya. Mama yang melihat perubahan jelas padaku mengelus dadanya tenang.

        “Baiklah, kamu mulai belajar ya Nad, dan mama harap kamu berubah sekarang.” pinta mama berkaca-kaca. Aku tahu mama gelisah dengan sikapku belakangan ini. Dan ia sangat senang melihatku dapat memberi senyum pada orang lain pagi ini. Mama pergi meninggalkan aku berdua saja dengan pak Hariyanto yang umurnya mungkin tidak beda jauh dengan mama.

        Berdua dengannya membuatku salah tingkah tak menentu. Wajahnya teduh menciptakan rasa nyaman tersendiri dalam hatiku. Dua jam berlalu begitu saja, dan aku tak ingin ia cepat pulang.

       “Chrizzt, ada yang tidak kamu pahami?” tanyanya dengan suara yang tak kalah teduhnya dengan wajahnya.

        “Hah? Bapak  memanggilku apa tadi?”

        “Oh, maaf saya teringat seseorang. Ya sudah lupakan.” Katanya mengalihkan pembicaraan seperti tak ingin aku bertanya lebih jauh lagi padanya.

         Sebelum pulang, ia memberiku PR yang menurutku tidak begitu sulit. Kulihat gelagatnya aneh setelah salah menyebut namaku tadi. Ia seperti tak ingin berlama-lama denganku. Atau entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.
Matahari sudah meninggalkan jejak-jejak cahayanya dan berganti dengan bulan. Aku berdiri di atas balkon rumahku. Anganku menatap lepas menuju langit. Melihat pernak-perniknya yang mengintip centil ke arahku. Malam menjadi larut lagi. Bahkan semakin larut hingga mengharuskanku untuk menutup mata dan terbenam dalam mimpi itu lagi.


          Ada yang lain dari gadis itu hari ini. Senyumnya lebih cerah dari kemarin. Pada darah yang sudah mengering itu, ia menulis sebuah nama, “Hary”. Mungkin itu nama kekasihnya. Perlahan terjadi sedikit tarikan pada masing-masing sudut bibirnya. Tarikan itu mencetak seulas senyum yang begitu tulus.


         Aku terbangun, masih kurasakan senyum tulus yang kulihat dari bibir gadis itu. Bahkan aku dapat merasakan senyum itu menyatu dalam diriku. Aku berusaha mengingat-ingat wajahnya, nihil, aku tak berhasil.

        “Ada yang mengganjal pikiranmu?” tanya pak Hariyanto yang melihatku melamun tak memperhatikan penjelasannya.

        “Pak, pernah gak merasa bermimpi, tapi mimpinya bersambung?” tanyaku antusias.

        “Mmm, sulit.”

        “Apanya yang sulit?”

         “Sulit mendapat mimpi seperti itu. Terkadang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat merasakan hal seperti itu.”

         Aku manggut-manggut mengerti. Pelajaran hari ini ditutup tanpa PR seperti kemarin.  Sebelum pak Hariyanto pulang, aku sempat mencegatnya dengan pertanyaan yang kurasa tidak pantas aku pertanyakan.

        “Pak, apakah Bapak sudah punya pacar?”

         Tentu saja ia terkejut mendengar tanyaku yang begitu mendadak. Ia memandangku dengan tatapan sayang. Aku dapat merasakan rasa yang tiba-tiba menjalari pori-pori perasaanku yang tak pernah terjamah cinta. Ia mendekatiku, mengelus rambutku, dan sesekali juga meraba pipiku yang lembab. Kurasakan jemari yang menyentuh kulitku terasa begitu hangat. Kami beradu pandang cukup lama. Aku terpaksa mendongak untuk mengikuti arah matanya yang tajam menatapku.

         Semakin dalam aku memandang matanya, semakin dalam pula kurasakan dekat dengannya. Seperti ada perasaan yang pernah tertinggal dan belum terjawab.


       Ditutupnya buku harian itu. Disana terukir jelas namanya tertulis dengan huruf kapital semua, CHRIZZT.


        Aku terhenyak, dadaku terasa perih dan sakit. Seperti ada berpuluh-puluh jarum menusuk-nusuk ulu hatiku. Beban yang begitu berat dan teramat menyiksa. Kurasakan jantungku berdetak begitu cepat. Tubuhku seketika melemas, pada tiap detiknya serasa meluruh mengiringi setiap guratan kecemasan yang menghempaskanku ke sudut asa yang lain.
Apa artinya ini? Kenapa bisa terjadi hal yang menyakitkan ini. Padahal sebelumnya aku masih baik-baik saja. Berusaha kuingat-ingat lagi mimpiku semalam. Yakinku, sumber sakit yang tak bertepi ini berasal dari mimpi itu.


        Waktu seperti mundur beberapa jam sebelum gadis yang bernama Chrizzt itu menggores nama Hary dalam diarynya.”Aku menyukaimu kak.”katanya parau dengan harapan yang panjang. Ia menggenggam erat diarynya dalam pelukan. Laki-laki yang benama Hary itu tak memberi jawaban. Ia diam, entah apa yang dipikirkannya. Lamat gadis itu merasakan tubuhnya kian melemah. Darah segar kembali menjalar keluar dengan leluasa dari lubang hidungnya. Ia mengusapnya dengan tangis yang tercekat.”Aku akan menanti jawaban kakak, datanglah ke tempat biasa kita berjumpa. Aku akan menunggu jawaban kakak.” Gadis itu berjalan tanpa menoleh. Setidaknya ia sedikit lega telah mengungkapkan perasaannya meski belum tahu perasaan Hary padanya.


       “Kamu demam dek, kakak telepon mama dulu ya?” suara Juwi membangunkanku dari sesaknya dadaku.

       “Gak usah kak, bentar lagi juga baik lagi kok..” kataku melarangnya untuk menghubungi mama. Bagaimanapun juga aku tak mau mama khawatir dengan keadaanku. Mama sudah cukup lelah menjadi single parent. Setelah aku kehilangan sosok papa 10 tahun yang lalu, mama yang menjadi tulang punggung keluarga. Sekaligus sumber kekuatan kami untuk tetap bertahan tanpa papa.

:) :) :)

         Dalam lelap kumasih terjaga. Pelan, ada yang menyentuh keningku lembut. Hangat jemarinya mampu menyadarkanku kembali.

        “Kak Hary?” sapaku lirih bebaur dengan rasa yang terpendam selama 15 tahun lamanya. Entahlah kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu. Rasa seperti pernah mencintai pak Hariyanto 15 tahun yang lalu.

         Tentu saja setelah mendengar sapaanku, pak Hariyanto terperanjat seketika.

         “Kenapa?” tanyanya ragu, seakan tahu kalau aku sudah tahu tentang masa lalunya.

        “Aku Chrizzt kak, sekarang aku tahu kenapa belakangan ini selalu memimpikan tentangnya. Dia ingin mengetahui jawaban yang masih tertunda dalam lisanmu kak. Bayangan Chrizzt selalu berkelebat menguasai perasaanku yang tiba-tiba tumbuh dan bersemi untuk kakak. Jiwanya telah menyemat ke dalam jiwaku sehingga menyeruak ingin mengetahui segalanya sekarang. Aku menyukaimu kak.” Paparku panjang lebar mengalir begitu saja tanpa mampu kukendalikan.

         Wajah pak Hariyanto langsung berubah menjadi pias dan pucat. Bias-bias cahayanya mulai meredup. Direngkuhnya tubuhku, ia menggamitnya menarik hingga terdekap dalam pelukannya. Tidak ada suara, hening yang membuatku semakin tersiksa karena rasa itu tumbuh lagi. Walau rentangan usia kami sekarang sangatlah jauh, tapi rasa itu tak bisa sirna begitu saja.

        Perlahan dia melonggarkan dekapannya. Ia menatapku sekali lagi.

       “Aku akan menjawab pertanyaanmu, di tempat dimana kita biasa bertemu. Aku akan menunggumu disana.” Kata-katanya sama persis seperti apa yang dikatakan Chrizzt dulu padanya.


       Chrizzt sudah lama menunggu kedatangan Hary dengan harapan yang menggebu. Berharap perasaannya dapat berlabuh di hati pujaan hatinya itu. Tapi satu menit, lima menit, tujuh menit, hingga sembilan menit. Hary tak juga hadir,sampai di menit ke-15 ia menghembuskan nafas terakhirnya.


       Limabelas tahun yang lalu, seorang gadis berusia 15 tahun mencintai laki-laki yang bernama Hariyanto. Yang terpaut hanya dua tahun lebih tua dari Chrizzt. Bersamaan dengan berhembusnya nafas terakhir Chrizzt, lahirlah aku, Nadya. Yang tumbuh dengan menyimpan serpihan-serpihan rasa yang tertinggal untuk Hary.

       Kini, Hary tengah menungguku di tempat terakhir yang dipijaki Chrizzt. Dia akan menjawab cinta yang sempat tertunda dulu. Akhir dari semuanya akan menjadi indah sekarang.

       Aku melangkahkan kakiku dibarengi dengan iringan nafas yang menderu. Dia menepati janjinya. Aku melihat Hary duduk bersandar di kursi taman menunggu kedatanganku. Aku mendekatinya, menyapanya dengan lembut.

      “Kak Hary?” senyumku sumringah tak bisa kusembunyikan.

       Wajahnya kembali menatapku dengan tatapan teduh. Kembali hening menyergap waktu dengan kejam.

       “Kak..bagaima...” kalimatku terpotong karena telunjuknya menelungkup bibirku.

       “Aku tidak bisa...” katanya pelan.

        Air mataku menetes tertahan. Ada rasa sakit yang tak bisa kujelaskan.

       “Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu.” Lanjutnya membuat degup di jantungku kembali berdetak. Setidaknya masih ada harapan.

       “Ke-kenapa?”

       “Karena aku sudah menikah.”

       Angin berdebur menampar wajahku kasar. Aku berusaha tegar di atas puing-puing rasa yang tengah mempermainkan jiwaku.

      “Setidaknya...”kataku pelan dengan hasrat yang tidak terima.”Setidaknya, berikan jawaban cinta yang tertunda begitu lama padaku.” Sambungku serak.

       “Aku tidak bisa.” Tegasnya sembari berdiri menghampiri perempuan yang menunggunya di seberang jalan sana. Mungkin itu istrinya.

       Aku mengejarnya, memeluknya dari belakang, menyilangkan tanganku di dadanya.

       “Katakan sekali saja, aku ingin tahu jawabanmu.” Kataku memaksa.

       Ia malah melepaskan pelukanku. Tanpa bicara, tanpa menoleh, ia terus berlalu menjauhiku. Menunda lagi jawaban yang aku harapkan.

       “Paling tidak katakan sesuatu.. Apapun itu aku akan menerimanya.” Helaku lemah.

        Aku terduduk pasrah menangisi hatiku yang lemah. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Menelusuri tiap kehampaan yang menggoda.

       DUARRR

       Hentakan suara benda meledak menghujam pendengaranku. Aku membuka mata, di depan sana sosok tubuh yang selama ini kucintai tergolek lemah bersimbah darah. Nyawanya terenggut di usiaku menginjak 15 tahun.

15 tahun kemudian

       “Bu guru, ini aku punya bunga buat ibu. Kuharap ibu suka.”

        Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun menghampiri ruang kerjaku. Pandangannya teduh, seteduh suaranya menyapaku. Sejenak bayangan kak Hary terhampar di wajah anak itu. Ia mendekatiku lalu berbisik pelan.


       “I LOVE YOU TOO.” 

-TAMAT-

DITULIS OLEH : DINDA CINTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar