Hari sudah mulai panas, matahari sudah mencuatkan sinarnya dengan berbagai macam gaya. Panas sekali, sebagian anak yang mulai letih semakin tidak menghiraukan penjelasan guru di depan kelas. Padahal baru saja berganti pelajaran pertama. Rasa-rasanya tak sabar menanti jam istirahat. Beberapa anak mulai terlihat bosan dan ogah-ogahan mengikuti pelajaran. Ada yang yang tidur, mengupil, saling lempar, dan di pojok belakang sana seseorang yang selalu mengenakan bando pink dengan khusu’nya tak menghiraukan aktivitas yang mengganggu konsentrasinya. Santai sekali, seperti tak ada beban yang sedang ia pikul. Mungkin memang begitu seharusnya. Baginya tidak ada yang sulit di dunia ini, asal kita mau berusaha mencapainya.
Tapi tak begitu untukku. Bagiku, kalau tak ada uang tak ada kesempatan. Aku mulai bosan dengan posisiku saat ini. Seharusnya aku duduk di belakang, tepat dimana Dessi duduk sekarang. Ini semua karena bu killer itu. Dasar guru baru, dia belum tau saja kalau aku anak pemilik sekolahan ini. Yang memberi dia gaji. Yang memberi dia kehidupan, memberi makan dan
bernaung.
Aku benci padanya, pada bu Winna. Dasar sok cantik, sok seksi, semua predikat itu seharusnya hanya aku yang boleh memilikinya. Aku yang duduk tepat di depannya kini hanya bisa manggut-manggut sok mengerti dengan penjelasannya. Padahal tak ada satu pun pelajaran yang berhasil menerobos otak kiri ku. Tak sabar rasanya menanti jam istirahat. Di depannya aku hanya bisa memainkan polpen dengan tanganku. Itu pun tak lepas dari pengawasannya.
Lagi-lagi pengawasannya, aku muak. Ini semua berawal sejak murid baru yang bernama Dessi itu memperkenalkan diri di kelasku.
“Hai.. Perkenalkan namaku Dessi Fransisca, aku pindahan dari SMU 24.”
Saat itu semua mata tertuju padanya. Dia memang cantik, tapi tak lebih cantik dari ku. Dia hanya sekuku hitam dari kecantikanku.
“PLLLANNNKKK....”
Sebuah kapur tulis mendarat di dahiku. ‘Mau ngajak perang ya bu?’ pekik ku dalam hati. Aku mengusap-usap dahiku akibat serangan senjata bu Winna.
“Jelaskan pada ibu apa itu paragraf argumentasi.” Serang bu Winna dengan senjata rudal keduanya. Aku langsung mati di tempat tak mampu mengelak lagi.
“Uchhh..” aku hanya melenguh kesal atas senjata ketiga bu Winna. Dengan malas-malasan, aku terpaksa masuk perangkapnya. Berdiri sampai jam istirahat mungkin merupakan kemerdekaan yang diperolehnya.
Baiklah, perang baru dimulai.
Bu Winna melanjutkan kembali penjelasannya. Kali ini semua diam tak ada yang berkutik. Tumbal bu Winna kali ini memang tepat sasaran. Akhirnya aku hanya menjadi tontonan gratis teman-temanku. Dengan kaki terangkat sebelah dan tangan mencubit kuping sendiri merupakan makanan sehari-hariku pada pelajaran bu Winna.
Perempuan berbando pink itu maju ke depan. Seperti biasa dia selalu punya seribu macam cara untuk cari muka di depan bu killer. Dia menatapku dengan muka sok manisnya. Ingin rasanya ku ludahi muka topeng itu.
“Sudah cukup Dessi, kamu boleh duduk.”
Dessi kembali lagi ke bangkunya. Bersamaan dengan itu bel pun berbunyi, tanda kebebasanku.
***
“Eh.., jangan sok carmuk deh? Kamu itu cuman orang baru, cuman numpang? Jangan sok deh jadi orang.” Gertakku pada Dessi saat kami bertemu di kantin.
“Memangnya kenapa? Aku juga bayar di sini?”
“Pake nyahut lagi, mau cari mati ya?”
“Aku kesini bukan cari mati, tapi cari ilmu jelas?”
“Berani ya kamu, belum tau siapa aku?”
Tanpa mempedulikan ucapanku, Dessi terus saja makan. Ku gebrak meja makannya, tak mau kalah ia berdiri. Itu yang aku tunggu, serangannya.
“Mau kamu apa sih? Aku gak punya urusan ya sama kamu?”
“Heh, cewek kampung. Kamu dateng dari kampungkan? Jadi jangan belagu deh jadi cewek? Kamu gak liat apa ini daerah kekuasaan aku?”
“Oh... begitu? Silahkan ambil meja kamu. Lagi pula aku sudah kenyang. Silahkan kamu yang bayar.” Ucapnya kemudian berlalu meninggalkan ku terpaku.
“Za.. dia berani banget sama kamu? Kayaknya kali ini kamu akan mati deh!” kata Sherly salah satu genk ku.
Aku menjitak kepalanya, ia langsung diam dan meminta maaf tanpa perlawanan. Tentu saja dia diam, sebab aku adalah bosnya.
“Gak segampang itu mengalahkan Zafira, aku gak semudah itu terkalahkan.”
Aku bersilang dada menahan geram pada Dessi yang sudah berani mempermalukanku di depan umum. Yeah.. mungkin ini memang bukan salah Dessi. Tapi aku tak pernah mau disalahkan, walau bagaimana aku harus menjadi pemenang bagaimanapun caranya.
Itulah aku ZAFIRA MEHRA. Aku adalah keturunan orang India. Kulitku putih, tidak seperti kebanyakan orang India pada umumnya. Wajahku yang cantik membuatku menjadi gadis populer di sekolah. Aku paling benci dengan orang-orang bodoh dengan muka memelas mereka. Terutama Dessi, perempuan berdarah Jawa itu selalu saja mengusik pandanganku. Ia yang lembut dan nyaris menjadi kebanggaan guru-guru di sekolah, membuatku sangat cemburu. Berbagai cara telah ku rencanakan agar dia secepatnya bisa keluar dari sekolah. Tapi selalu saja, senjata makan tuan. Mungkin memang takdirnya seorang dengan sifat antagonisnya seperti aku, akan selalu sial.
Tapi aku tak pernah menyerah. Sudah merupakan hoby ku untuk mengerjai anak kampung itu. Apalagi, kini dia telah bersekutu dengan bu Winna.
***
“Pulang bareng yuk?”
Gadis berbando pink itu hanya menggeleng lesu. Ia nampak sangat tak bersemangat.
“Ada apa sih?” tanya Yoga sekali lagi.
Dessi masih diam, ia masih terpaku pada laptopnya. Memandangi baris demi baris catatannya.
Yoga beranjak dari kursi, ia agak mendekatkan tubuhnya lebih dekat lagi ke arah Dessi. Ia berjongkok seraya menyentuh kening Dessi lembut.
“Apa sih? Aku gak sakit, aku baik-baik saja.” Dessi menepis lengan Yoga kekasihnya itu.
Yoga duduk lagi di samping Dessi. Dipandanginya wajah ayu yang selalu mempesonakan hatinya itu. Pucat, tak lagi memancarkan keceriaan.
“Kamu sakit, ayo kita pulang.” Tegas Yoga untuk kesekian kalinya.
“NGGAK!!”
Yoga memandang Dessi dengan tatapan aneh.
“Well, up to you.”
Yoga pergi meninggalkan Dessi sendiri. Tapi belum sampai beberapa langkah Yoga menjauhinya, Dessi sudah memanggil.
“Yoga...” panggil Dessi lemah.
Yoga berhenti, ia berbalik kembali menghampiri kekasihnya itu.
“Yoga... aku..”
Perlahan air mata mengalir di pipi gadis itu. Yoga menyandarkan kepala Dessi di bahunya. Membelai-belai rambut Dessi, membuat gadis itu merasakan kenyamanan tersendiri dalam hatinya.
“Pulang ?” tanya Yoga dengan kasihnya penuh tercurah untuk Dessi.
Dessi mengangguk lesu. Dituntunnya Dessi bak pengantin hendak ke pelaminan. Yoga dan Dessi melewati koridor-koridor kelas hanya berdua seperti sekolah hanya milik mereka berdua. Aku menunggu langkah gemulai mereka di pintu utama. Kesal juga, lelet sih kayak keong racun.
Dengan bersandar di tembok, aku mencegat mereka bagai preman yang menanti upeti dari rakyat lemah.
“Tunggu!”
Langkah mereka pun terhenti karena ulahku.
“Denger Za, aku sedang gak ingin berdebat dengan kamu.” Kata Dessi yang tiba-tiba mendapat kekuatan baru untuk menghardikku.
“Idih, GR amat kamu? Amat aja gak GR?” cetusku tidak mau kalah dengan senyum mengejek.
“Ya sudah jangan halangi jalan kami.”
“Apa? Jalan kami? Memangnya ini jalan milik nenek moyangmu apa? Seenaknya!”
“Apa kamu bilang?” Dessi mengayunkan tangannya karena kesal padaku.
“Sudah..sudah.. gak ada gunanya. Maaf ya Za? Kami mau pulang boleh?” lerai Yoga sok pahlawan menengahi kami.
“Siapa kamu? Minta izin ke aku, memangnya aku ibumu apa?” gerutuku pedas.
Dessi memandang Yoga marah, “ Lepas.” Ia berlari meninggalkanku dan Yoga. Aku hanya tersenyum bangga melihatnya begitu.
Yoga memandangku tanpa arti.
“Apa kamu? Gak terima?” lalu tanpa membiarkannya berkomentar, aku berlalu begitu saja meninggalkannya.
***
Hari ini Dessi tidak masuk sekolah. Benar-benar kesuksesan terbesar bagiku untuk membuat ulah di kelas. Tanpa berpikir lagi, aku mengambil alih tempat duduk Dessi, di pojok belakang sana. Selama pelajaran berlangsung aku hanya merias diri tanpa memperhatikan guru bicara. Benar-benar acuh dan tidak peduli. Tentu saja tidak ada guru yang berani protes. Silahkan saja kalau berani, akan ku skorsing dia. Ya, kecuali bu Winna.
Bel berbunyi, anak-anak lain segera mengambil langkah seribu untuk menyerang kantin-kantin di luar sana. Sementara aku lebih suka berdiam diri dan enggan keluar dari kelas. Ada yang lebih menarik aku kerjakan. Membaca buku.
“Sejak kapan dia begitu?”
“Ah, paling hanya cari perhatian aja.”
“Denger-denger dia mau ikut kuis milioner.”
“Hahaha.. mimpi kali dia bisa menang, paling juga main belakang tuh.”
“Iya tuh, lagian buat apa coba? Dia sudah punya segalanya. Buat apa lagi yang lain?”
“Ah, palingan juga cuman cari nama.”
Gunjingan mereka terdengar jelas di telingaku. Bisik-bisik mereka selalu terdengar setiap ku melakukan aktivitas membaca. Beranekaragam, macam-macam gosipnya. Tapi ku tak pernah mengambil pusing, memangnya tidak boleh apa orang jahat membaca? Tetap saja aku pada posisi santaiku, hingga seorang laki-laki yang suarannya tak asing menghampiriku.
“Boleh duduk?”
Aku diam tak mau menghiraukannya. Tapi seakan teman baikku, dia malah berceloteh membuatku ingin mendampratnya.
“Soal kemarin, aku benar-benar minta maaf ya? Aku tau, kita tak sebaiknya melakukan itu kepada anak pemilik sekolah. Kamu maukan jadi temanku? Ya...ya...walau aku tau, kamu agak keterlaluan..”
Aku membidiknya dengan tatapan tak suka. Ia malah tak berpaling. Berani benar dia mengacaukan konsentrasiku. Aku beranjak untuk pindah tempat, tapi dia malah mencegat langkahku.
“Mau kamu apa sih?” geram aku dibuatnya.
“Cuman mau kita jadi teman aja?”
“Buat apa, aku tidak butuh teman. Kalau pembantu aku mau.” Senyumku cuek.
Ia nampak berpikir. Lalu kemudian menjentikkan jarinya.
“Kalau jadi pacar?”
WHAT???
Jadi pacar katanya? Sejak kapan aku harus jadi pacar kedua Yoga? Tapi entah karena dorongan CINTA huch, aku muak mendengar kata cinta. Atau mungkin karena rencana busukku sedang berjalan. Aku pun menerimanya, tanpa bertanya, tanpa tersenyum, tanpa syarat, dan tanpa memberikannya kesempatan bicara. Ku biarkan saja dia terhanyut dengan imajinasinya. Aku sudah tak sabar melihat tampang dan ekspresi Dessi jika dia tahu aku adalah madunya.
Sang mentari sudah menari lagi, menampakkan sinarnya dengan gagah berani. Dengan langkah riang, aku berjalan menuju kelas. Ada sejuta rencana di benakku pagi ini. Dan semuanya akan kujalankan sesuai rencana.
BRUKK
Aku sengaja menabrak Dessi, ia tidak marah. Itu membuatku kesal.
“Maaf.” Lain dari biasanya, dia segera minta maaf. ‘Ada apa dengannya?’ aku cuek saja tak peduli. Ia memperbaiki bandonya.
Aku menatapnya dari atas ke bawah. Memang ada yang janggal padanya, matanya menyiratkan kesedihan. Sembab, seperti sudah menangis. Oh tidak, aku paling benci melihat orang cengeng. Tapi tidak untuk Dessi, tangisnya merupakan kebanggaanku. Ya, aku bahagia melihatnya menangis.
“Hai.. Beibs..” sapa Yoga di tengah-tengah kami. Ia langsung menggantungkan lengannya di leherku. ‘Apa dia tidak takut pada Dessi?’ pikirku tanpa melarangnya, berharap melihat raut cemburu pada wajah Dessi.
Benar-benar aneh, Dessi tidak merespon sedikit pun. Itu membuatku semakin kesal. Dessi berlalu begitu saja tanpa menghiraukan kami. Setelah bayangan tubuh Dessi tenggelam dari pandanganku, segera ku tepis tangan Yoga. Tentu saja aku tidak ikhlas dia melakukan itu padaku.
“Sudah, sudah, Dessi sudah pergi.”
“Maksudmu?”
“Maksud kamu apa sih ngajak aku jadian? Kamukan sudah punya Dessi?”
“Lalu kenapa kamu terima aku?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Tentu saja itu urusanku.”
“Kamu kenapa sih ngerekcokin aku terus?” aku langsung pergi saja meninggalkannya terpaku begitu.
Tapi tidak lama ia terpaku, secepat orang lari maraton, secepat itu ia mencegatku kembali. Aku memandangnya dengan penuh rasa jengkel. Ingin rasanya kujitak saja itu kepala agar secepatnya ia enyah dari pandanganku. Aku membuang muka, benar-benar tak ingin ia memandangku seperti itu. Tatapan sok penuh perhatian, aku benci, aku muak.
“Mau kamu apa sih? Gak penting banget sih menghalangi jalanku?”
“Hey.. seharusnya aku yang bertanya? Kamu kenapa sih, perasaan sejak bertemu Dessi kamu langsung berubah?” tanya Yoga curiga.
“Ah, gak ada. Hanya perasaan kamu aja kali?” kataku berusaha menyembunyikan rahasia yang sama sekali tak ingin diketahui olehnya.
Yoga memandangku dengan tatapan tak percaya. Sorot matanya yang tajam sempat membuatku goyah. Tapi bukan Zafira namanya kalau tak bisa menangani hal sekecil ini. Aku melangkah agak maju ke hadapannya. Membalas tatapan matanya yang sedang tajam menatapku. Perlahan kusentuh wajahnya yang putih hampir menandingi putih kulitku. Aku semakin mendekat. Kurasakan dengan jelas tubuhnya bergetar.
“Kenapa sih sayang? Kamu gak percaya padaku?” Hanya dengan kerlingan mata genit dan sapaan kata sayang, ia langsung tak berkutik. Dasar cowok, dimana-mana semua cowok ya emang begitu. Gak pernah tahan sama yang namanya godaan. Apalagi yang menggoda itu aku, Zafira.
Aku masih penasaran dengan tingkah Dessi hari ini. Benar-benar lain dari biasanya, beda banget. Ada yang aneh dari dia. Di kelas pun yang biasanya dia yang paling aktif mendengar penjelasan guru. Kali ini mungkin aku yang paling aktif, aktif ngerjain orang (hehehe). Aku sama sekali tak memandangi penjelasan guru. Hanya Dessi yang kuperhatikan, aku menangkap gerak-gerik mencurigakan darinya. Seperti ada yang direncanakan.
Atau jangan-jangan Dessi memang sengaja merencanakan semua ini dengan Yoga untuk menjebakku. Kalau tidak untuk apa juga Yoga mengajakku jadian kalau tidak ada apa-apanya? Aku harus waspada untuk kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
“Tidak ada apa-apa, kamu jangan curiga begitu. Apa salahnya kalau aku ingin menjalani ini denganmu? Aku sudah putus dari Dessi.”
Yoga tiba-tiba sudah ada di sampingku saat pelajaran usai. Ia seperti tahu saja apa yang semenjak tadi kulamunkan.
“Putus? Kapan?” tanyaku.
“Belum lama, persis kemarin saat kamu mencegatku saat kami pulang. Kamu ingat?”
Aku ingat, kemarin memang Dessi sudah berbeda. ‘Apa ini gara-gara aku? Apa karena aku Dessi memutuskan untuk berpisah dengan Yoga? Kenapa? Kenapa begitu cepat Dessi mengambil keputusan karena aku?’ Aku tak bisa memikirkkan ini sendiri, aku butuh jawaban. Dan tak perlu lama, Yoga menjelaskan semuanya kepadaku.
“Dessi marah, karena aku membelamu. Cepat mengalah tanpa membelanya. Dia gak suka dengan caraku memperlakukanmu. Dia mempertanyakannya. Kenapa setiap aku bertemu kamu, aku gak pernah marah dan selalu membelamu kalau kami membicarakanmu. Akhirnya aku tak bisa menyembunyikan itu semua darinya. Dessi terlalu baik untuk aku tipu. Yah, aku mencintaimu Za. Aku mengatakannya pada Dessi. Aku tidak takut. Aku tahu dia sedih, tapi dia bukan tipe perempuan egois. Dia memahaminya, itu yang aku suka darinya.”
“Lalu, kenapa kamu memilih aku? Aku gak sama dengan Dessi? Aku jahat, aku egois, aku selalu ingin menang sendiri dan aku tidak pernah mencintaimu?” paparku, kali ini kubiarkan saja dia mengetahui apa yang kusembunyikan. Entah kenapa aku melakukan itu.
“Aku tidak mencintai Dessi, aku mencintaimu? Cinta tak membutuhkan jawaban. Kalau hati ini sudah memilihmu dan bukan Dessi. Aku bisa apa?”
Aku diam, yah susah memang buatku untuk membicarakan cinta. Apalagi untuk menerima Yoga apa adanya. Aku memang masih ingin melanjutkan permainan ini. Permainan untuk menyakiti Dessi. Kuyakin Dessi pasti masih mencintai Yoga. Walau bagaimanapun juga mereka pernah menjalin hubungan. Tapi lagi-lagi perasaan itu muncul. Perasaan yang seperti peri suci. Mungkin perasaan itu yang selalu dimiliki Dessi. Pelan-pelan ada rasa tidak enak juga yang diam-diam menyelinap di hatiku. Aku pikir, tidak ada salahnya kalau sekali ini saja aku menyerah. Menyerahkan bukan berarti kalah. Aku menyerah hanya untuk menyiapkan senjata berikutnya. Kuharap ini bukan jebakan.
“Aku belum bisa percaya sepenuhnya padamu. Bagaimanapun juga..”
“Ya aku tahu, tidak mudah bagimu untuk percaya semua ini.” Yoga meraih tanganku lalu duduk tepat di hadapanku. Matanya, oh Tuhan, matanya berbinar-binar memancarkan kalau dia sungguh-sungguh. “Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa?” Dia menyanyikan lagu Mahadewi kesukaanku. Sejenak kupikir dia gombal. Kutepis saja tangannya sambil menyembunyikan senyum termanisku yang sangat langka. Dia beruntung berhasil melihatnya. Mungkin itu senyum terikhlasku yang pernah kuberikan pada seorang manusia.
“Sudah ah, jangan gombal begitu?”
“Jadi?”
“Apa?”
“Apa jawabanmu?”
Aku beranjak dari kursi, meraih tas ransel di atas meja, “Akan aku pikirkan.”
Dia mengejarku, berjalan sejajar denganku menelusuri ruang-ruang kelas. Entah kenapa hati terasa berbunga-bunga mendengar dia berkata begitu padaku. Selama ini belum pernah ada seorang laki-laki yang berani mendekatiku. Sekalinya ada yang dekat langsung meruntuhkan hatiku yang tak mudah goyah selama ini. Kata-katanya memang gombal, tapi aku heran kenapa hatiku menepis perasaan itu. Aku tak menganggap itu gombal, aku merasa itu kejujurannya.
Kami berjalan sampai depan gerbang sekolah. Kali ini aku tak marah atau mencoba melepaskan diri saat Yoga menggandeng tanganku. Kubiarkan saja dia berlaku begitu padaku. Toh juga aku merasa nyaman di sampingnya. Indah sekali hari ini dengannya. Aku berpisah saat supir pribadiku menunggu di depan. Sebelum aku pergi, ia sempat mencium tanganku. Tak bisa kugambarkan bagaimana senangnya hatiku. Baru pertama kali aku merasakan hal ini. Kuharap ini bukan mimpi.
***
Pagi-pagi sekali aku mandi. Yang biasanya aku agak telat bangun tapi kali ini aku tak ingin kehilangan kesempatan. Aku cepat-cepat sarapan dan mencari supirku di depan. Si supir malah asyik memandikan mobil.
“Rama..... kamu ngapain? Udah jam berapa ini?” aku menggerutu kesal melihat supirku yang lelet. Bagaimana mungkin dia malah sesantai itu, sementara aku ingin secepatnya bertemu Yoga di sekolah.
“Aduh non, inikan hari minggu?”
Kalimat Rama membuatku menelan ludah dengan terpaksa. ‘Apa? Ini hari minggu?’ Aku sampai lupa hari. Yang ada di pikiranku hanya Yoga. Semalaman aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan kata-katanya yang membuat jantungku tak henti berdetak cepat. Oh Tuhan, ada apa denganku? Kenapa hanya dia yang kupikirkan. Aku mulai gelisah menanti hari esok. Kenapa hari esok tak kunjung datang?
Handphonku bernyanyi pelan.
“What? Yoga? Yoga memanggil?” pekikku kegirangan. Aku sampai mengucek mataku untuk melihat bahwa itu memang panggilan dari Yoga.
“Hallo, apa ini dengan Zafira?” kudengar suaranya begitu merdu menyentuh hatiku. Lekas-lekas kuatur suaraku sebiasa mungkin. Agar tidak terdengar kalau aku memang sedang menunggunya.
“Ya, ini siapa ya?” aku pura-pura tidak mengetahui nomor HPnya. Padahal aku sudah tahu itu dari Yoga. Sebab semalam aku memaksa Sherly untuk mencari tahu no.nya.
“Ini Yoga.”
“Oh, kamu.. iya ada apa?” aku berusaha setenang mungkin. Padahal sebenarnya aku ingin teriak senang.
“Ini hari minggu, kamu ada waktu gak?”
“Memangnya ada apa?”
“Apa kita bisa kencan? Aku mau kamu memberikan aku kesempatan untuk mengenali aku dulu.”
Apa? Kencan katanya? Apa aku tidak salah dengar? Dia mengajak aku kencan? Tentu saja aku mau.
“Mmm, sebentar ya aku mau lihat jadwalku hari ini.” Kataku sedikit jaga image.
“Oh ya tentu, maaf kalau aku mengganggu. Kalau kamu gak ada waktu, kita bisa atur lain waktu.”
“Sepertinya aku punya waktu? Ngomong-ngomong dapet darimana nomorku?”
“Tidak sulit untuk mendapatkan nomor cewek terpopuler di sekolah.” Katanya.
Aku tersenyum lalu mengakhiri percakapan kami. Aku menggenggam Handphoneku sembari membayangkan apa yang akan kami lakukan nanti. Pasti sangat romantis. Tak sabar rasanya untuk segera bertemu Yoga. Aku memilih-milih gaun yang akan kukenakan untuk kencan dengan Yoga nanti. Aku harus tampil cantik agar dia terpesona melihatku. Setelah semuanya siap. Aku dan Rama melesat menuju tempat janjian.
Persis seperti yang aku bayangkan. Tempat yang sangat romantis untuk berkencan. Kulihat dia sudah duduk menungguku. Dia sangat manis dengan kemeja yang dilipat sampai siku itu. Aku sampai tak berkedip memandanginya. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Hatiku bergetar tak menentu. Cemas dan mulai merasa takut. Takut kalau sampai kehilangan dia. Seharian aku bersamanya. Menghabiskan waktu berdua. Yoga memperlakukanku bak seorang puteri. Dia sangat piawai dalam memanjakanku. Kurasa cinta semakin tumbuh dan mekar dalam hatiku.
***
“Za, ngelamunin apa sih? Kayak orang lagi jatuh cinta aja?”
“Hah? Apa? Ngawur siapa juga yang jatuh cinta dengan Yoga.”
“Perasaan aku gak ngomong gitu tadi? Hayooooo... ngaku dech?” goda Sherly.
Perdebatan itu tak akan selesai kalau saja bel tanda peringatan untuk apel tidak berbunyi. Aku dan genk langsung berhamburan menyerbu lapangan sekolah. Aku mengambil tempat paling depan untuk supaya bisa melihat Yoga. Dia berdiri di seberang sana. Memandangku juga dengan tatapan sayang. Kebetulan hari ini dia bertugas sebagai pemimpin upacara. Dia sungguh manis. Senyumnya pasti tidak akan bisa membuatku tidur nyenyak nanti malam. Karena terus terbayang dia. Dan benar saja, wajahnya tak berhenti terbayang-bayang dalam mimpi dan sadarku.
Oh inikah yang namanya cinta? Sehari tak bertemu membuatku begitu rindu tak menentu. Seminggu sudah aku jadian dengan Yoga. Senyumnya, tatapannya, genggamannya, selalu membuatku rindu. Secara otomatis, aku melupakan orang-orang di sekitarku. Aku tidak lagi membuat usil. Aku tidak lagi jahil dan berbuat ulah dengan Dessi. Cinta Yoga serta-merta membuatku berubah 180 derajat.
Hari ini dia tidak kutemukan di kelas. Biasanya setiap jam istirahat dia pasti mengunjungiku. Tapi kali ini tidak. Aku ke kantin untuk mencarinya, tidak ada. Di perpustakaan, juga nihil. Kemana dia? Aku mencarinya di seluruh tempat, sampai di toilet pria. Sepi, tidak ada siapa-siapa. Kutanyai teman sekelasnya, siapa tahu dia tidak masuk sekolah. Tapi, ternyata dia hadir. Lalu kemana dia? Aku juga tidak melihat Dessi hari ini. Jangan-jangan....
Benar juga firasatku, aku menemukan mereka berdebat di toilet perempuan. Di sana sepi, karena bel sudah berbunyi. Aku memantau percakapan mereka dari balik tembok.
“Kapan kamu akan menghentikan semua ini Yoga?” tanya Dessi.
“Kamu sabar aja sayang...” Yoga berusaha menenangkan Dessi sambil memegang pundaknya.
“Tapi aku sudah gak tahan melihatmu pacaran dengan dia?”
“Kamu cemburu?”
“Ya tentu aja? Siapa coba yang gak cemburu melihat pacarnya, sedang pacaran dengan musuhnya di sekolah?”
“Tapi ini hanya pura-pura? Kamu tahu itukan sayang? Percayalah, perasaanku tetap sama kamu Dessi. Jangan ragukan itu. Lagipula mana mungkin aku mencintai cewek saiko seperti Zafira? Bersabarlah sayang, sebentar lagi kok. Aku akan mengakhirinya tepat di hari ulangtahunnya. Sesuai dengan rencana awal kita. Ini bukan hanya dendammu sayang, tapi dendam kita semua yang pernah disakiti Zafira.”
Kalimat-kalimat itu seketika juga menampar wajahku. Perasaanku hancur menjadi kepingan-kepingan tak berarti. Sedih sekali melihat kenyataan itu. Hatiku sakit, baru kali ini aku merasakan sakit yang tiada terkira. Aku tak sanggup mendengar kata-kata mereka lagi yang sedang membodohiku. Aku memang bodoh, telah percaya dengan mulut manisnya. Aku tak ingin membuat rencana mereka berhasil. Kuhampiri mereka langsung.
“Hebat, salut...” aku tersenyum sambil menahan air mata yang tak sabar keluar.
“Za.. Zafira?” mereka mengucapkan namaku hampir bersamaan.
“Kalian jahat, dasar licik!!” kataku pedas.
“Oh, kamu sudah tahu? Baguslah, jadi paling tidak, aku tidak perlu menunggu lama untuk hari ini.” Kata Yoga tanpa dosa.
“Sakit bukan?” tambah Dessi.
Ingin sekali aku menamparnya, tapi aku tahan.
“Penderitaanmu saat ini gak sebanding dengan penghinaan yang selama ini kamu lempar padaku. Dasar sok cantik. Aku tahu ini sekolah memang punyamu. Tapi gak sepantasnya kamu memperlakukan kami seperti budakmu. Semaumu, seenakmu!!” kata Dessi tak kalah pedasnya memandangku dengan tatapan mendendam. Seperti penuh ambisi untuk menelanku hidup-hidup.
“Maafkan aku Za, telah memakai jalan ini untuk membuatmu sadar. Bahwa selama ini kamu salah menganggap Dessi perempuan lemah. Aku pernah bilangkan kalau aku menyukai perempuan seperti Dessi?” jelas Yoga tanpa memperdulikan perasaanku.
Aku tertawa, salut dengan kebohongan mereka sekaligus kebodohanku. Ya Allah... sakit sekali rasanya. Aku tidak sanggup menghadapi ini sendiri. Bawa aku kembali, kembali menjadi diriku yang dulu. Yang tak pernah percaya dengan cinta. Tapi ini sekaligus menyadarkanku. Bahwa kejahatan memang tak pernah menang. Allah itu ada untuk selalu menyelamatkan yang tertindas. Mungkin ini adalah balasan atas perbuatanku selama ini. Aku harus lapang menerimanya dengan ikhlas.
“Ya Allah....
Kuatkanlah aku, menjalani semua ini.”
Kubiarkan air mataku menetes. Aku pergi tanpa kata, menahan perih dan luka yang teramat dalam....
^_^TAMAT^_^
DITULIS OLEH : DINDA CINTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar